Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Pemerintah Inggris melakukan kesepakatan dengan Kerajaan Belanda, persetujuan tanggal 24 Agustus 1945 itu dikenal dengan Civil Affairs Agreement, alih kekuasaan pendudukan di Indonesia dari Belanda pada pasukan Inggris. Dan pemerintahan sipil di Indonesia oleh sekutu akan dijalankan oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang dipimpin oleh Van Der Plas.
Pada tanggal 17 September 1945, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Perlawanan rakyat dan Kekuatan Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) yang secara otomatis tergabung dan menyebar ke tentara Hizbullah dibawah komando KH. Zainal Arifin dan laskar Sabilillah dibawah komando KH. Masjkur bertempur menyabung nyawa dengan sisa-sisa Nippon, Belanda dan Sekutu (inggris) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia merebak dimana-mana.
Atas merebaknya situasi bentrok antara pejuang tanah air dengan pihak sekutu tersebut, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul-konsul NU di seluruh jawa dan Madura. Dalam undangan itu disebutkan, agar pada tanggal 21-22 Oktober 1945, para Ulama dan perwakilan pimpinan ANO wajib hadir ke kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Sedangkan kantor PBNU (HBNO | Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama).) kala itu ada di Jl. Sasak 23 Surabaya.
Lokasi ini tentu berbeda dengan alamat Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, yang di beberapa sumber menyebutkan sebagai kantor HBNO pertama. Meski mengandung nilai sejarah yang tinggi baik bagi NU maupun Indonesia termasuk ketika dicetuskan Resolusi Jihad 1945, Kantor Jalan Bubutan bukanlah kantor HBNO, melainkan Kantor Pemuda Ansor.
Malamnya, 22 Oktober 1945, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan beberapa pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam (laki maupun perempuan) dalam jihad mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia.
Rapat yang dipimpin KH. Abdul Wahab Chasbullah kemudian menyimpulkan satu keputusan bersejarah dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad fii Sabilillah”, yang intinya mewajibkan setiap orang Islam (fardlu ’ain) mempertahankan Indonesia dari serangan penjajah.
Resolusi Jihad ini kemudian membakar semangat juang pemuda Ansor, arek-arek Surabaya dan rakyat diberbagai daerah untuk berjuang melawan penjajah.
Pada 9 November 1945, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.
Tepat 10 November 1945, Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid. Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris.
Resolusi Jihad berperan penting dalam membakar semangat kepahlawanan peristiwa 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pahlawan, dan spirit Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sendiri kemudian ditetapkan sebagai hari Santri.
Resolusi Jihad merupakan kata kunci dari Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Tanpa Resolusi Jihad, tak akan pernah ada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : Ansor Jatim
0 komentar:
Posting Komentar