Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat datang di BLOG Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Watulimo, Semoga bermanfaat dan Berkah.

Hikmah

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang (berjuang) dijalannya dengan terorganisasi rapih, seperti sebuah bangunan yang tersusun kuat". (QS. as-Shaf : 4)

Program

Dalam Pengembangan.

Mutiara Hikmah

"Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al Maidah : 2)

Sekretariat

Jl. Raya Pantai Prigi, RT. 11/03 Desa Prigi, Kec. Watulimo, Kab. Trenggalek - 66382.

Pages

Sabtu, 08 Oktober 2016

Julukan dan Nama Lain Indonesia beserta Asal-Usulnya

Indonesia memiliki banyak nama lain atau julukan sebagai negara besar. Hal ini menjadi wajar ketika Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman hayati dan latar belakang budaya yang kental. Bahkan sebelum nama “Indonesia” tercetus dan dijadikan sebagai nama resmi selama bertahun-tahun, Indonesia memiliki banyak julukan yang memiliki kisah historis tersendiri. Berikut nama-namanya
1. Indonesia
Awalnya, dasar penamaan Indonesia digunakan untuk penggunaan ilmiah, karena berasal dari perpaduan dari bahasa Latin dan Yunani. Kata Indus mengacu pada pulau-pulau di luar benua India. Sedangkannesos berarti pulau.
Seorang akademisi pertama yang memperkenalkan nama “Indonesia” di seluruh dunia adalah James Richardson Logan di tahun 1850. Tepatnya di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Baru kemudian Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) menjadi sarjana Indonesia pertama yang memperkenalkan nama Indonesia dalam ranah politik.
2. Zamrud Khatulistiwa (The Emerald of Equator)
Bukan hanya karena terletak di garis khatulistiwa kemudian Indonesia mendapat julukan ini, tapi karena banyaknya gugusan pulau-pulau dan hutan hijau yang subur. Jika dilihat dari angkasa gugusan kepulauan Indonesia nan hijau menyejukan mata seperti batu Zamrud (emerald).
Letaknya yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa membuat Indonesia mendapatkan cahaya yang cukup untuk mendukung keanekaragaman hayati. Hingga kemudian, Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Hal ini dikemukakan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli), seorang penulis Belanda abad ke-19, untuk menggambarkan keindahan alam negara dalam salah satu suratnya.
3. Bumi Pertiwi atau Ibu Pertiwi
Ibu Pertiwi berasal dari bahasa Sansekerta pṛthvi atau juga pṛthivi, yang berarti dewi dalam agama Hindu atau Bumi dalam Bahasa Indonesia. Sebagai pṛthivi mata, Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia sebagai perwujudan tanah air, yang merujuk kepada negara dan tanah di mana orang-orang lahir. Secara harfiah tanah dan air merupakan ekspresi idiomatic untuk mengarah pada rumah atau tempat asal usul.
4. Nusantara
Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno yang diambil dari kisah Sumpah Palapa. Ini berawal saat Patih Gajah Mada dari abad ke-14 Kerajaan Majapahit bersumpah untuk tidak makan palapa (kelapa atau pala) sebelum mempersatukan Nusantara (kepulauan Indonesia) di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah ini bermakna bahwa sang Patih tidak akan bersenang-senang (diibaratkan tidak memakan makanan lezat) sebelum misi untuk memperluas daerah kekuasaan Majapahit terpenuhi.
Sumber : brillio

Kamis, 06 Oktober 2016

Menjawab Tuduhan Penganut Ajaran Nenek Moyang

Sebuah pesan dari dai Salafi ditulis: “Sekira para kiai Aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai dari Salafi yang telah meluruskan makna Ahlu Sunnah wal Jamaah yang selama ini mereka pahami secara keliru”
Jawaban:
Justru Dai dari Salafi yang baru mengetahui Islam dan belum mengerti metode ijtihad para ulama sejak dahulu. Apa yang telah kami amalkan memiliki landasan ijtihad sebagai berikut:
Qiyas Dalam Ibadah
– Sumber Hukum Qiyas
Ulama ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin ar-Razi, menjelaskan firman Allah dalam QS an-Nisa’: 59, sebagai 4 sumber hukum dalam Islam:

قَوْلُهُ : { أَطِيْعُواْ اللهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ } يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ . قَوْلُهُ : { وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ … قَوْلُهُ : { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ
“Firman Allah (ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul) menunjukkan kewajiban mengikuti al-Quran dan Hadis. Firman Allah (dan ulil amri) menunjukkan bagi kita bahwa Ijma’ umat Islam adalah sebuah hujjah. Dan firman Allah (jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu…) menunjuk-kan bagi kita bahwa Qiyas adalah sebuah hujjah” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, 5/248-251)
– Khilafiyah Qiyas Dalam Ibadah
Metode Qiyas semacam ini memang menjadi khilafiyah diantara lintas ulama Madzhab, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali bin Muhammad al-Ba’li:

مَسْأَلَةٌ يَجْرِى الْقِيَاسُ فِى الْعِبَادَاتِ وَالْأَسْبَابِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالْحُدُوْدِ وَالْمُقَدَّرَاتِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَالشَّافِعِيَّةِ خِلَافًا لِلْحَنَفِيَّةِ
“Qiyas berlaku dalam masalah ibadah, sebab-sebab syariat, kaffarat (denda/sanksi), hukum pidana dan ukuran, menurut ulama kami (madzhab Hanbali) dan madzhab Syafiiyah, berbeda dengan madzhab Hanafiyah” (Mukhtashar Ushul al-Fiqh ala Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, 1/151)
Contoh dari hasil ijtihad ini adalah membaca niat dalam salat, salaman setelah salat, adzan di kubur
Mengamalkan Hadis Dlaif
Ulama Salafi menvonis mengamalkan hadis dlaif adalah bidah, padahal tidak demikian. Sudah sejak masa ulama Salaf hadis dlaif diamalkan, bahkan hal ini diakui oleh Ibnu Taimiyah yang diberi gelar Syaikhul Islam oleh Salafi:
فَصْلٌ قَوْلُ أَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ : إذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَإِذَا جَاءَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ تَسَاهَلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَكَذَلِكَ مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ
(Fasal) Perkataan Ahmad bin Hanbal: “Jika ada hadis yang menjelaskan halal dan haram, maka kami sangat ketat dalam menilai sanadnya. Jika ada hadis dalam masalah dorongan beribadah atau motifasi menginggalkan larangan, maka kami memberi kelonggaran dalam sanadnya”, demikian halnya para ulama yang mengamalkan hadis dlaif dalam hal keutamaan beramal; maksudnya adalah bukan unyuk menetapkan hukum sunah dengan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab, sunah adalah hukum syar’i maka tidak dapat dijadikan ketetapan hukum kecuali dengan dalil Syar’i.
وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛ وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ ذَلِكَ … وَمِثَالُ ذَلِكَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ بِالْإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَالْمَنَامَاتِ وَكَلِمَاتِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ وَوَقَائِعِ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بِمُجَرَّدِهِ إثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ ؛ لَا اسْتِحْبَابٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُذْكَرَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ؛ وَالتَّرْجِيَةِ وَالتَّخْوِيفِ . فَمَا عُلِمَ حُسْنُهُ أَوْ قُبْحُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ
Maksud mereka (Imam Ahmad dan lainnya) adalah melaksanakan hal-hal yang disenagi oleh Allah atau yang tidak disenangi berdasarkan dalil nash atau ijma’ ulama, seperti membaca al-Quran, tasbih, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada manusia, menjauhi dusta, khianat dan sebagainya…. Demikian halnya dorongan ibadah dan menjauhi larangan dengan dasar kisah-kisah Israiliyat, mimpi-mimpi, perkataan ulama Salaf, kejadian yang dialami para ulama dan hal yang tidak boleh dijadikan hukum Syar’i hanya karena hal diatas. Bukan menjadi hukum sunah atau lainnya. Namun boleh disebutkan dalam hal mendorong ibadah, menjauhi dosa, memberi harapan atau menakut-nakuti. Maka, sesuatu yang diketahui bagusnya atau buruknya berdasarkan dalil Syar’i maka hal itu boleh dan tidak berbahaya (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa 4/50)
Contoh amaliah yang merujuk kepada hadis dlaif adalah Talqin di makam. Sedangkan contoh mengamalkan dari para ulama adalah melepas tali pocong dari sebagian Tabiin. Contoh mengamalkan mimpi adalah doa fida’ baik tahlil 70.000 kali maupun al-Ikhlas 100.000 kali. Jika Ibnu Taimiyah boleh mengamalkan, mengapa pengikutnya menolak?
Mengamalkan Tradisi
Masalah inilah yang paling banyak dituduh sebagai mengamalkan ajaran nenek moyang, yaitu tradisi. Padahal tidak semua tradisi harus dijauhi, bahkan tradisi yang dinilai baik oleh umat Islam boleh diamalkan, sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar” (Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata)
Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr, berfatwa:
وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ …. قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا … (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 336)
Atsar (Ibnu Mas’ud) ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama bahwa ‘urf atau kebiasaan adalah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan… ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak digunakan kecuali dengan beberapa syarat, diantaranya harus berlaku secara umum oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Diantaranya juga tidak bertentangan dengan dalil agama, seperti minum khamr, permainan judi dan transaksi riba…” (Fatawa al-Azhar 10/336)
Kriteria tradisi dengan syarat diatas juga dibenarkan dalam pandangan ulama 4 madzhab, seperti oleh Syaikh Zadah al-Hanafi dalam Majma’ al-Anhar 5/361, Syaikh ad-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiah ‘ala asy-Syarh al-Kabir 15/372, al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i, Asybah wa an-Nadzair, 1/164, dan Syaikh asy-Syinqithi dalam Syarah Zad al-Mustaqni’ 6/166.
Ma’ruf Khozin, Anggota di Aswaja NU Center Jatim dan LBM PWNU Jatim

Selasa, 04 Oktober 2016

Ketika Sayyidina Umar Mencium Istrinya saat Berpuasa


Pada suatu waktu di bulan Ramadhan, Sayyidina Umar bin Khattab tak tahan untuk tidak mencium istrinya. Sesaat Umar ingat bahwa ini bulan Ramadan, maka hebohlah Umar dan bergegas menemui Nabi SAW dan melaporkan kepada Nabi, "Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa". 


Rasulullah kalem menanggapi Umar, beliau SAW balik bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?" Umar menjawab, "Seperti itu tidak mengapa." Kemudian Rasulullah bersabda, "Lalu apa masalahnya?" (HR Ahmad)



Saya terpesona membaca riwayat ini. Rasulullah menjawab dengan sekaligus mengajarkan logika. Mencium dianalogikan dengan kumur-kumur. Artinya, tidak sampai meminum air kan? Mencium tidak sama dengan menggauli isteri. Nabi bisa saja menjawab dengan mengatakan, "Tidak apa-apa" secara tegas. Tapi tidak! Kakek Hasan dan Husain ini memilih memberi jawaban dengan logika. 



Kelak madzhab Umar yang sering bertumpu pada ra'yu (pertimbangan akal, red) mempengaruhi pandangan para ulama di Kufah (Iraq), termasuk Imam Abu Hanifah. Jadi, menggunakan ra'yu bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan Rasul sendiri yang mengajarkannya. 



Kedudukan Umar di sisi Rasul memang istimewa. Dalam riwayat Bukhari-Muslim diceritakan mimpi Rasulullah sebagai berikut: "Ketika tidur, aku bermimpi bahwasanya aku diberi segelas susu. Setelah itu, aku pun langsung meminum sebagian susu tersebut, hingga aku merasakan kesegaran sampai ke ujung kuku. Kemudian aku berikan sisa susu tersebut kepada Umar bin Khattab." Para sahabat bertanya, "Ya Rasul, apa arti mimpi tersebut?" Rasulullah menjawab, "Ilmu". 
Nadirsyah Hosen‬, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber : Website PBNU

Minggu, 02 Oktober 2016

Kehadiran Malaikat Kala Seorang Mukmin Sakit

Kalau kita tahu sebenarnya tidak ada alasan untuk sedih dan mengeluh saat sakit. Karena sebenarnya itu adalah bagian dari kasih sayang Allah SWT. Kalau selama ini banyak keluhan, itu karena tidak tahu rahasia di balik sakit tersebut. Penjelasan ini semoga bisa membesarkan hati.

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat senangnya.”
Sabda Rasulullah SAW tersebut diriwayatkan Abu Imamah al-Bahili. Dalam hadist yang lain: “Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus empat malaikat untuk datang kepadanya.”

Allah memerintahkan malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya. Dan malaikat ketiga mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubah menjadi pucat pasi. Sedangkan yang terakhir, malaikat keempat untuk mengambil seluruh dosa. Maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.


Tatkala akan menyembuhkan hamba mukmin tersebut, Allah memerintahkan kepada malaikat pertama hingga ketiga untuk mengembalikan kekuatan, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat terakhir, Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?” Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya saat sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”


Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.” Subhanallaah.
“Tiada seorang mukmin yang ditimpa oleh lelah atau penyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampai pun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan dijadikan penebus dosanya oleh Allah.” (HR Bukhari-Muslim)

“Jika sakit seorang hamba hingga tiga hari, maka keluar dari dosa-dosanya sebagaimana keadaannya ketika baru lahir dari kandungan ibunya.” (HR Ath-Thabarani)
Dalam hadits riwayat al-Qadha’i disebutkan: “Penyakit panas itu menjaga tiap mukmin dari neraka. Dan panas semalam cukup dapat menebus dosa setahun.”

Sumber : Santri News

KH Idham Chalid, Putra Pelosok Jadi Pemimpin Nasional

H Mahbub Djunaidi, kolumnis kenamaan itu, dalam tulisannya yang kocak “Wajah”, menggambarkan KH Idham Chalid sebagai berikut: perawakannya tipis tak ubahnya dengan umumnya pedagang batu permata dari Banjar.
Meski demikian, menurut Ketua Umum PB PMII pertama tersebut, Kiai Idhamlah yang memegang rekor paling lama menduduki kursi kekuasaan politik negeri ini sejak tahun 1956. Dan paling lama pula menjabat ketua NU. Idham memiliki kelincahan logika tinggi.
KH Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1921 M di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara dari H Muhammad Chalid. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Keterkaitannya dengan NU dimulai pada tahun 1952 ketika ia aktif dalam Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan dibawah NU. Dua tahun kemudian ia dipercaya memegang jabatan Sekretaris Jenderal PBNU. Kemudian menjadi Ketua Umum PBNU. Mulai mengemban amanat itu, Idham otomatis sebagai tokoh termuda saat berusia 34 tahun yang pernah memimpin PBNU. Ia memimpin NU pada tahun 1956 sampai tahun 1984. Kepemimpinannya selama 28 tahun adalah sebuah catatan dan prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut maupun masa kini.
Kepemimpinan Idham di PBNU mematahkan mitos Jawa dan luar Jawa. Juga menghapus mitos bahwa Ketua Umum PBNU harus memiliki darah biru, yang dapat diartikan sebagai keturunan ulama besar yang terpandang.
Ayah Idham hanya berprofesi sebagai penghulu di pelosok Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Keluasan pergaulan, kemahiran retorika serta kepiawan dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh besar pemimpin nasional. Idham menjadi pemimpin besar baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru karena kapasitas personal, kegigihan dalam perjuangan serta kemauan keras untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa dan agama.
Pada masa Perang Kemerdekaan, Idham berjuang di Kalimantan Selatan. Ia bergabung dengan badan perjuangan Serikat Muslim Indonesia (Sermi). Kemudian dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK). Bersama dengan Komandan Divisi IV ALRI, Letnan Kolonel Hassan Basri, ia mendirikan Fonds Nasional Indonesia Kalimantan. Ia ikut bergerilya bersama anggota divisi IV ALRI, bahkan diangkat sebagai penasihat. Pada bulan Maret 1949 ia ditangkap Belanda dan baru dibebaskan pada bulan November.
Dalam bidang pendidikan, pada tahun 1940, Idham menjadi guru di Madrasah Pondok Modern Gontor, bekas almamaternya. Setelah kembali ke daerah kelahirannya di Kalimantan Selatan pada tahun 1944, ia memimpin Normaal Islam School. Ia juga menghimpun sejumlah pesantren dengan mendirikan Ittihad Al Ma’ahid Al Islamiyyah. Kegiatan di dunia pendidikan masih dilanjutkan Idham ketika ia sudah menjadi pimpinan NU. Pada tahun 1956 ia mendirikan perguruan Islam Darul Ma’arif di Jakarta dan pada tahun 1960 mendirikan Pendidikan Yatim Darul Qur’an di Cisarua, Bogor.
Di bidang pemerintahan, beberapa kali Idham Chalid duduk dalam kabinet dengan jabatan antara lain Wakil Perdana Menteri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) dan kabinet Juanda (1957-1959). Menteri Utama bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I (1966-1967), Menteri Negara Kesejahteraan dalam Kabinet Ampera II (1967-1968), Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I (1968-1973). Selain itu, ia juga pernah menjadi Ketua DPR (1968-1977) dan Ketua MPR (1972-1977), Ketua DPA (1978-1983).
Peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University Kairo, Mesir ini yang yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi, wafat pada 11 Juli 2010. Ia dimakamkan di Pesantren Darul Quran, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Setahun kemudian, KH Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Ia merupakan putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Dan kini, sebentar lagi akan menghiasi mata uang Rupiah 5.000. (nuonline)