Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat datang di BLOG Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Watulimo, Semoga bermanfaat dan Berkah.

Hikmah

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang (berjuang) dijalannya dengan terorganisasi rapih, seperti sebuah bangunan yang tersusun kuat". (QS. as-Shaf : 4)

Program

Dalam Pengembangan.

Mutiara Hikmah

"Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al Maidah : 2)

Sekretariat

Jl. Raya Pantai Prigi, RT. 11/03 Desa Prigi, Kec. Watulimo, Kab. Trenggalek - 66382.

Pages

Kamis, 13 Oktober 2016

Tim Kirab Resolusi Jihad Awali Perjalanan dari Banyuwangi

Banyuwangi, NU Online
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta api selama hampir dua belas jam, Tim Kirab Resolusi Jihad 2016 yang diberangkatkan dari Stasiun Pasar Senen Jakarta, tiba di Stasiun Gubeng Surabaya, Selasa (11/10) pukul 23.40 WIB.

Empat jam berikutnya, Rabu (12/10) pagi, anggota tim yang berjumlah 67 orang, meneruskan perjalanannya ke Banyuwangi, masih dengan transportasi kereta api.

Stasiun Kalibaru adalah stasiun tujuan tim. Sebelum jam sebelas siang, tim tiba di sana. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi, menyambut Tim Kirab Resolusi Jihad.

Dari Stasiun Kalibaru, tim dibagi dalam tiga bus, untuk meneruskan perjalanan ke Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pondok Pesantren yang didirikan pada 1951 ini, menjadi lokasi pelepasan tim Kirab Resolusi Jihad 2016 pada esok harinya. 

Tim tiba di pondok pesantren yang saat ini memiliki 6000 santri itu sekira setengah jam sebelum tiba waktu dzuhur. Tim segera menikmati makan siang yang disediakan panitia lokal.

Anggota tim menikmati waktu istirahat yang cukup lama yakni hingga waktu Maghrib. Setelah sholat Isya, barulah tim disibukkan dalam sejumlah kegiatan. Pertama adalah sowan ke pengasuh pondok pesantren. Peserta perempuan sowan kepada Ibu Nyai Handariyatul Masruroh.

Syam, peserta perwakilan dari Lembaga Wakaf dan Pertanahan (LWP PBNU), menceritakan salah satu pesan Nyai Masruroh bahwa menjadi santri tidak boleh malu. Dahulu, santri diidentikkan dengan pribadi yang tidak tahu apa-apa. Namun sekarang tidak lagi.

“Ruh pesantren ada pada tafaqquh fiddin (memperdalam ilmu-ilmu agama). Oleh sebab itu lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren yang menjadi titik awal pendidikan, harus dikembangkan,” ujar Nyai Masruroh.

Sementara itu, peserta pria melakukan sowan kepada KH Ahmad Hisyam Syafaat. Kepada peserta, Kiai Hisyam mengatakan peran NU dan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan sangat besar. Sayangnya perhatian dari negara terhadap pesantren belum maksimal. 

Walaupun demikian, NU dan pesantren akan tetap berjuang untuk membela NKRI, dengan terus menjaga dan mengembangkan  tradisi keilmuan yang ada di pesantren. Kiai Hisyam menegaskan membela NKRI merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa.

Setelah melakukan sowan, tim kembali bergabung untuk melakukan ziarah ke makam para pendahulu dan pendiri pesantren, yang masih terletak di area pesantren. (Kendi Setiawan/Fathoni)

Sumber : NU Online

Presiden Jokowi Perintahkan Jaksa Agung Telusuri Dokumen Laporan TPF Munir

Jakarta, ANSOR Online
Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk menelusuri keberadaan dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) atas kematian aktivis HAM Munir Said Thalib.
Presiden menyampaikan bahwa telah memerintahkan Jaksa Agung untuk yang pertama menelusuri keberadaan hasil TPF itu. Yang kedua, setelah ditelusuri, sejauh mana penyelesaian dari kasus Munir itu sudah dilakukan di era kepemimpinan yang terdahulu, sampai dimana, gitu,” kata Johan Budi dalam rilis yang dikutip dari setkab.go.id, Rabu (12/10).
CukOoeJUIAAH-4_
Johan Budi menegaskan, dengan perintah yang disampaikan oleh Presiden kepada Jaksa Agung itu nanti bisa di telusuri lebih lanjut apakah ada bukti baru yang bisa ditindak lanjuti.
Ia mengingatkan, kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir itu juga pernah ada tersangkanya, bahkan ada terpidananya. Karena itu, Presidenconcern kemudian memerintahkan pada Jaksa Agung, yang pertama menelusuri keberadaan hasil TPF itu.
Setelah itu, lanjut Johan, tentu dipelajari apakah dari dokumen-dokumen TPF tadi ada hal-hal baru yang kemudian bisa ditindaklanjuti oleh Kejaksaan atau Kepolisian. “Karena itu, menyikapi hal ini Presiden tadi saya konfirmasi akan memerintahkan Jaksa Agung dan sekarang sudah diperintahkan,” jelasnya.
Mengenai sikap Istana sendiri, Johan Budi mengemukakan, sebagaimana disampaikan oleh Presiden dalam pertemuan dengan pakar dan praktisi hukum beberapa waktu lalu dalam konteks kerangka yang lebih besar, yaitu reformasi di bidang hukum secara total.
Ia menyebutkan, salah satu hal yang ingin diselesaikan oleh pemerintahan yang sekarang adalah persoalan-persoalan di masa lalu. Salah satunya adalah kasusnya Munir.

Sepotong Sejarah Perdebatan Nama “Nahdlatul Ulama”

Sebagaimana nama-nama organisasi besar pada umumnya, nama Nahdlatul Ulama juga lahir dari pemikiran dan proses perdebatan yang intensif. Nama itu bermula dari bertemunya para kiai terkemuka pada 31 Januari 1926 di kampong Kertopaten Surabaya. Mereka berkumpul dalam rangka membahas dan menunjuk delegasi komite Hijaz—utusan yang hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa’ud.
Seperti tercatat dalam sejarah, Ibnu Sa’ud yang menjadi penguasa baru Hijaz (Saudi Arabia) waktu itu terkenal dengan kebijakannya yang meresahkan umat Islam di berbagai belahan dunia. Selain memberangus pluralitas madzhab, sang raja juga berniat menggusur situs-situs peradaban Islam, termasuk makam Rasulullah.
Yang beredar di benak para ulama waktu itu adalah organisasi apa dan apa pula namanya yang akan bertindak selaku pemberi mandat kepada delegasi tersebut?
Di sinilah perdebatan sengit seputar nama organisasi berlangsung, seperti diceritakan oleh Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 (Surabaya: Duta Aksara Mulia). Setidaknya ada dua nama atau usulan. Kedua nama ini secara prinsip sebenarnya sama namun memiliki implikasi yang berbeda.
KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik mengusulkan nama Nuhudlul Ulama disertai penjelasan bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Pendapat ini disambut oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz dengan sebuah sanggahan. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz itu sendiri. Hanya saja, kata Kiai Mas Alwi, kebangkitan atau pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisasi secara rapi.
Lewat argumentasi itu, Kiai Mas Alwi mengajukan usul agar jam’iyyah ulama itu diberi nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama), yang pengertiannya lebih condong pada “gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau, gerakan bersama-sama yang terorganisasi”.
Forum para kiai secara aklamasi menerima usulan KH Mas Ali bin Abdul Azis. Nama “Nahdlatul Ulama” pun ditetapkan pada hari itu juga, 16 Rajab 1344 H, tanggal bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang diperingati setiap tahun hingga kini.
Penjelasan sejarah ini menggambarkan kesan bahwa pendirian NU tak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. NU hanyalah sebagai penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham, serta pemegang tradisi dan cita-cita yang sehaluan.
Tentang nama “Nahdlatul Ulama”, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga punya pendapat. Dalam sejumlah kesempatan ia mengatakan bahwa nama ini diilhami oleh kalimat Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari, pengarang kitab al-Hikam yang populer di kalangan pesantren itu.
Akar kata “Nahdlatul Ulama” termuat dalam salah satu aforismenya yang berbunyi: “Lâ tashhab man lâ yunhidluka hâluhu wa lâ yadulluka ‘alallâhi maqâluhu (Janganlah engkau jadikan sahabat dari orang yang perilakunya tak membangkitkan dan menunjukkanmu kepada Allah)”. Menurut Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari sering mengutip ungkapan itu. Kata ‘yunhidlu‘, artinya membangkitkan, dan ulama termasuk orang yang bisa membangkitkan ke arah jalan Allah. (NU online)
Sumber : Ansor Jatim

Sepenggal Cerita dibalik Nama GP ANSOR (1)

“Organisasi ini  bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor didirikan kembali di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai kelanjutan dari Ansor Nahdlatul Oelama yang didirikan pada tanggal 10 Muharram 1353 atau tanggal 24 April 1934”
(AD ART GP Ansor Bab I Pasal 1. Hasil Kongres V di Sala, 1959)
Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pra dan pasca Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan.
Karenanya, kisah Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, Syubbanul Wathan, Persatuan Pemuda NU, ANO, Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk lintasan sejarah perjuangan ANSOR yang melegenda di hati masyarakat dan berperan besar dalam derap langkah pergerakan memerdekakan Republik Indonesia. namun sayang dalam tinta buku sejarah nasional Indonesia, peran GP Ansor seakan-akan dikaburkan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua organisasi (baik politik, kemasyarakatan dan kepemudaan) diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Karena itu, ANO baru bisa kembali melakukan pergerakan setelah memperoleh seragam baru, Laskar Hisbullah.
Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, melempar ide untuk mengadakan reuni pemuda ANO dan mengaktifkan kembali ANO. Kala itu, Chusaini baru saja kembali dari medan tempur menghadapi agresi II militer Belanda di kawasan Jombang, Mojokerto dan Tuban.
Ide sang pencipta lambang GP Ansor  ini mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu, maka pada tanggal 14 Desember 1949 reuni tersebut berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.
Pertemuan bersejarah itu dihadiri langsung KH. Wachid Hasyim dan memberikan pidato pengarahan terkait pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: 1) Untuk membentengi umat Islam Indonesia; 2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.
Dari pengarahan itulah lahir kesepakatan membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih populer disingkat GP Ansor).
Pasca pertemuan tersebut, beberapa tokoh menghubungi aktifis Ansor di berbagai daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting, Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen) pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki aturan rumah tangga sendiri.
Namun demikian, induk organisasi ini tak henti-hentinya memberikan bimbingan dan panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja, Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.
Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua umum PP GP Ansor periode pemula itu.
Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan. (M. Sultan Indonesia)
Sumber utama: Gerak Langkah Pemuda Ansor, Choirul Anam, 1996.

Senin, 10 Oktober 2016

Ansor, Resolusi Jihad dan Hari Santri (1)

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Pemerintah  Inggris melakukan kesepakatan dengan Kerajaan Belanda, persetujuan tanggal 24 Agustus 1945 itu dikenal dengan Civil Affairs Agreement, alih kekuasaan pendudukan di Indonesia dari Belanda pada pasukan Inggris. Dan pemerintahan sipil di Indonesia oleh sekutu akan dijalankan oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang dipimpin oleh Van Der Plas.
Pada tanggal 17 September 1945, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Perlawanan rakyat dan Kekuatan Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) yang secara otomatis tergabung dan menyebar ke tentara Hizbullah dibawah komando  KH. Zainal Arifin dan laskar Sabilillah dibawah komando KH. Masjkur bertempur menyabung nyawa dengan sisa-sisa Nippon, Belanda dan Sekutu (inggris)  untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia merebak dimana-mana.

Atas merebaknya situasi bentrok antara pejuang tanah air dengan pihak sekutu tersebut, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul-konsul NU di seluruh jawa dan Madura.  Dalam undangan itu disebutkan, agar pada tanggal 21-22 Oktober 1945, para Ulama dan perwakilan pimpinan ANO wajib hadir ke kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Sedangkan kantor PBNU (HBNO | Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama).) kala itu ada di Jl. Sasak 23 Surabaya.
Lokasi ini tentu berbeda dengan alamat Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, yang di beberapa sumber menyebutkan sebagai kantor HBNO pertama. Meski mengandung nilai sejarah yang tinggi baik bagi NU maupun Indonesia termasuk ketika dicetuskan Resolusi Jihad 1945, Kantor Jalan Bubutan bukanlah kantor HBNO, melainkan Kantor Pemuda Ansor.
Malamnya, 22 Oktober 1945, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan beberapa pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam (laki maupun perempuan) dalam jihad mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia.
Rapat yang dipimpin KH. Abdul Wahab Chasbullah kemudian menyimpulkan satu keputusan bersejarah dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad fii Sabilillah”, yang intinya mewajibkan setiap orang Islam (fardlu ’ain) mempertahankan Indonesia dari serangan penjajah.
Resolusi Jihad ini kemudian membakar semangat juang pemuda Ansor, arek-arek Surabaya dan rakyat diberbagai daerah untuk berjuang melawan penjajah.

Pada 9 November 1945, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.
Tepat 10 November 1945, Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid. Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris.
Resolusi Jihad berperan penting dalam membakar semangat kepahlawanan peristiwa 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pahlawan, dan spirit Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sendiri kemudian ditetapkan sebagai hari Santri.
Resolusi Jihad merupakan kata kunci dari Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.  Tanpa Resolusi Jihad, tak akan pernah ada Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Sumber : Ansor Jatim

Menepi Sejenak ke Karbala

Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya Hasan. Nabi menyebutnya Husein yaitu Hasan kecil.
Masa kecil Husein diliputi kebahagiaan dan keceriaan masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi ketika menceritakan tentang Husein, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat Husein itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih, saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husein.
“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak seorang pun dari mereka yang pernah kucium.”
“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut rasa sayang dari hatimu.”
Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama Husein. Bahkan di waktu sedang memimpin jamaah shalat sekalipun. Husein dan abangnya berkejaran diantara kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud, keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya, Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya menyelesaikan keinginannya.”
Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik bermain dengan kedua cucunya. Husein dan Hasan naik di punggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”
Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena baju yang dipakai al Husein kepanjangan, ia menginjaknya sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin Husein terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang disampaikannya.
Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat, begitu besar kecintaanmu pada Husein.” “Iya, Husein dari aku, dan aku dari al Husein. Mencintai aku siapa yang mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.” Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabi pun berlomba-lomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada Husein.
Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sahabat-sahabatnya, Husein dan Hasan segera berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada ibunya, Fatimah. Begitu Ali datang dan hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah disampaikan Nabi tadi, Fatimah segera memotong, “Sudah saya tahu.”
Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”. Sang Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya yang tertawa senang.
Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun caranya salah. Husein dan Hasan melihat kejadian itu. Husein segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”
Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang menjadi jurinya?” Husein pun meminta kepada kakek yang hadir disitu. "Kek, siap jadi juri ya..” Sang kakek mengiyakan.
Keduanya pun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling benar. Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar. Saya yang salah.”
Husein sukses memberitahu cara wudhu yang benar kepada si kakek, tanpa merasa digurui.
Husein tidak lama bersama Nabi. Di usianya baru menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa sedihnya Husein kecil. Terus terbayang masa kecil yang indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek sudah sedemikian risaunya.
Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi Nabi itu?. Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari penunggang Nabi itu? Tahukah kau apa yang terjadi dengan leher dan bibir Husein yang sering dikecup oleh Nabi itu?
Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya ditusuk-tusuk pedang.
Smoga yg kita ingat tidak hanya seolah-olah Husein hanyalah cucu Nabi, yang sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam kegembiraan masa kanak-kanak.
Mana masa muda Husein, yang diminta ayahnya untuk melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa muda Husein yang ikut membela ayahnya dalam perang-perang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir Husein, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya?
Nabi bersabda tentangnya, “Husein adalah pemimpin pemuda di surga…”
Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu dikubur?
Secuil itukah yang kau tentangnya?
|
Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!”
Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.
Pria itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini tinggal beberapa...
Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.
Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.
Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Husein bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husein. Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad di hari Husein lahir.
Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.
Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi lalu diberi nama Husein, semakna dengan nama sang kakak yaitu Hasan yang berarti kebajikan.
Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.”
“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Husein terbunuh.”
Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamil-nya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husein akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.
Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husein telah meninggal dunia karena dibunuh.”
Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husein. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.
Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Husein pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Husein, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.
Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Husein, Ali Al-Akbar bin Husein, dan Abbas saja yang tersisa.
Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husein telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.
Dengan wajah iba Husein menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.”
Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.
Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husein yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Husein. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala’.
Al-Husein, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”
Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Husein. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.
Husein segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”
Kini hanya tersisa Husein dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.
Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husein. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”
Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Husein yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.
Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”
Sementar Al-Husein, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Allah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”
Melihat Al-Husein sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husein dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.
Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang Husein, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”
Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Husein bin Ali bin Abi Thalib. Husein wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.
Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang pembela Husein dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husein, yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya, Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.
Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”
Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan. Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris terbunuh itulah keturunan Al-Husein kemudian dapat berlanjut hingga saat ini.
Sejatinya, setidaknya ada dua "kriteria" pembunuh Husein. Pertama, yg membunuh jasadnya, yakni pasukan Yazid. Kedua, yang membunuh kehormatan dan nama baiknya, yaitu kelompok yang menafikan perjuangannya dan menyebut beliau pemberontak yang memang layak dibunuh dan tidak usah diingat-ingat lagi. Juga kelompok yang meyakini beliau benar dan gugur sebagai syuhada tapi tetap membela yang membunuhnya dan menuntut ummat untuk melupakan saja peristiwa tersebut
Seharusnya umat Islam lah lebih lebih berhak mengetahui salah satu sejarah paling kelam dan memilukan ini. Hal ini menjadi keheranan bagi Antoine Bara, seorang cendikiawan Kristen Suriah, penulis buku “Al-Husain fi al-Fikri al-Masihi” (Husain Dalam Kristianitas), dalam sebuah wawancara.
Tanya :
"Dalam buku anda dikatakan, “Jika Husain bin Ali berasal dari kelompok kami (Kristian ) niscaya kami akan menebarkan panji ‘perang’ di setiap penjuru bumi untuknya. Kami akan dirikan mimbar-mimbar di setiap belahan bumi dan dengannya kami akan mengajak manusia kepada Kristen atas nama Husain bin Ali”. Bagaimana bisa demikian?"

Antoine Bara :
"Ini bukanlah kata-kata saya, melainkan ucapan pendeta Kristen yang sezaman dengan masa kesyahidan Husain bin Ali. Sesungguhnya ia hendak menyingkap bahwa kalian para kaum Muslimin tidak mengenal kualitas imam kalian ini, Husein bin Ali.

Sungguh, kami memiliki monument jejak telapak kaki kuda al-Masih dan kami akan berhaji untuknya. Sedangkan kalian memiliki pusara suci jejak, keberkahan dan juga warisan tak ternilai dari Husein bin Ali. Kami belum pernah melihat kalian mengambil manfaat dan keuntungan darinya secara positif.
Adapun jikalau Husein bin Ali dari golongan kami, niscaya kami akan mendirikan monumen-monumen peringatan di setiap penjuru bumi untuknya, karena dia bukanlah sebuah fase yang bersifat matematis, bahkan dia merupakan pengorbanan pembebasan manusia, dan dia merupakan tonggak awal keazalian.
Sungguh pantas kita berkabung untuk ketragisan Husein ini, dan menyingkap misteri perjalanan Revolusi Husein bin Ali ini. Sungguh pantas kita sadar bahwa peristiwa Karbala ini benar-benar dahsyat. Dan sangat miris apabila banyak yg tidak tau apa itu karbala.
Bagaimana mungkin dia tidak mendapatkan porsi perhatian yang lebih dihadapan para pemikir Muslim pada umumnya? Bagaimana bisa Karbala dibicarakan tak lebih dari peristiwa sejarah pada umumnya? Adapun muslim Syiah, mereka memandang peristiwa ini dengan pandangan penuh simpatik (meski agak ekstrem, red). Lalu saya lihat tulisan-tulisan kaum orientalis. Di sanapun tulisan-tulisan mereka hanya berkisar pada aspek-aspek material Karbala dan melupakan sisi-sisi revolusi spiritual dan kemasyarakatan. Bahkan di kalangan Muslim ada yg berpendapat bahwa kesalahan terbesar adalah kebangkitan dan perlawanan Husein itu sendiri (Tak lebih dari konsekuensi politik, red).
"Mereka tak akan pernah mau tahu", kata kiai Jarkoni. "Karena karbala tak mungkin membuat mereka bisa hidup senang2. Karbala itu hari kepedihan, hari kesunyian yg paling sepi dan puncak. Jadi mana mungkin spirit karbala membuat orang bisa ketawa-ketawa bahagia".
_________________________________
"Jika kau tidak menangis ketika mendengar kisah terbunuhnya Husein dibacakan, itu bukan karena kisah itu tdak layak ditangisi tapi karena hatimulah yg membatu dan layak ditangisi."
"Yang menangisi peristiwa Karbala tidak pasti Syiah. Namun yg bergembira atas peristiwa itu sudah pasti bukan sunni".