Keberhasilan HBNO mendatangkan banyak cabang NU dalam muktamar ini tak lepas dari upaya KH. Abdul Wahab Chasbullah, Katib Aam, dalam mengorganisir cabang-cabang NU, baik mendatangi secara langsung maupun menyampaikan memo melalui undangan resmi.
Gaya Kiai Wahab sebagai muharrik (penggerak) NU benar-benar gaya organisatoris ulung. Agar cabang-cabang NU bersemangat mengirimkan delegasinya, Kiai Wahab memberikan penekanannya. “Salah satu sifat dari orang munafik adalah yatasalluna liwaadzan (diam-diam menyingkir), maka supaya kita tidak terkena sifat itu, diharap dengan sangat supaya para utusan kongres janganlah dengan diam-diam tak mendatangi perundingan kongres.”
Dalam sidang muktamar, Kiai Wahab juga memberikan uraian mengenai kepedulian dan kewaspadaan NU terhadap pelbagai upaya pengkerdilan umat Islam yang dilakukan pemerintah kolonial.
Hal ini tampak dalam uraian KH. A. Wahab Hasbullah, tertanggal 3 Juli 1939, beerapa hari menjelang muktamar, mengenai langkah mengajukan protes kepada pemerintah Hindia Belanda. “Menilik adanya beberapa sebab, dapat juga perhimpunan Nahdlatul Ulama kita ini dianggap lebih besar dan lebih kuat oleh pemerintah Belanda. Pengalaman dan pandangannya terhadap adanya beberapa kejadian, yang telah diketahuinya atas adanya pemindahan hak bagi waris dari pengadilan agama ke landraad, begitu pula adanya peraturan yang sekarang ini bahwa suatu jumlah harta benda yang kurang dari f. 50, pengurusannya bukan di landraad, tetapi di regendstraad. Demikian itu kalau dipikir sedalam-dalamnya, maka ternyatalah bahwa ketentuan hukum hukum keIslaman kita semakin jauh dari yang kita kehendaki bersama. Karena itu sebaiknya kongres ini lebih baik mengajukan mosi kepada pemerintah mengenai hal ini.” kata Kiai Wahab sebagaimana dikutip A. Mun’im DZ dalam “KH. A. Wahab Hasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara” (hlm. 115)
Selain itu, dalam agenda muktamar ini, Kiai Wahab juga memberikan seruan mengenai pentingnya persatuan umat Islam dan peningkatan kualitas kehidupan kaum muslimin. “Kemuliaan Islam itu dapat dicapai meskipun tidak dengan senjata lahir, tetapi dengan senjata kekuatan iman. Kebaikan orang Islam ada zaman dulu telah pindah ke tangan orang bukan Islam, misalnya seperti kebersihan, dulu yang dikenal bersih dan rajin itu umat Islam, tapi sekarang ini malah terkenal kotor dan malas. Dulu yang terkenal maju itu orang Islam, tetapi sekarang yang terkenal mundur dan tak berharga mereka itulah. Maka di sini kita memerlukan persatuan karena dengan persatuan itu kita akan dapat mencapai cita-cita kita. Tidak ada senjata yang lebih tajam dan sempurna lagi selain persatuan. Suatu umat akan memajukan dan meninggikan dirinya dengan persatuan. Dan sebaliknya tidak ada seorang pun yang menjadikan kemunduran dan kerendahan derajat sebagai perselisihan dan percekcokan. Suatu umat yang cekcok dan berselisih, tentulah umat yang akan jatuh atau telah jatuh. Jadi, setiap usaha itu tentulah diikuti oleh upaya bersungguh-sungguh. Kalau kita ingin mulia, tapi tidak mau payah, maka sama halnya kita menanti turunnya air embun di tengah terik panas matahari.”
Adapun di antara keputusan-keputusan yang dilahirkan dari muktamar ini adalah sebagai berikut:
- Mengajukan mosi kepada pemerintah Hindia belanda di Batavia agar pasal 177 indische staasregeling (kitab undang-undang ketata pemerintahan Hindia Belanda) tidak dicabut.
- Mengajukan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar Ordonansi Guru tahun 1925 yang membatasi tugas para guru agama Islam sebagai pelaksana pasal 178 indische staasregeling dicabut.
- Mengajukan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar semua subsidi kepada semua agama di Indonesia dihapus saja mengingat bahwa dalam praktiknya subsidi untuk Kristen jauh lebih besar, sedangkan kepada Islam, selain jumlahnya amat kecil juga tidak mengenai sasaran keagamaan. (Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam di daerah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh hubungan Islam-Kristen. Pemerintah berusaha memisahkan Islam dalam arti sebagai kekuatan politik dengan Islam ‘sekadar’ agama. Namun, dalam prakteknya, penduduk Indonesia yang beragama Islam khususnya yang berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan dan kegiatan pengajaran, seringkali mendapat kesulitan menghadapi sikap pemerintah jajahan yang tidak adil, sementara di sisi lain, pemerintah colonial memberikan fasilitas dan kemudahan kepada kaum Nasrani. Aqib Suminto membahas cara licik ini dalam buku “Politik Islam Hindia Belanda” (Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 27-38.)
- Mengesahkan beridirnya badan kepemudaan—bersifat barisan di samping Ansor NU, yang dipimpin oleh badan pimpinan bernama Kwartir Besar Barisan Ansor NU.
- Mengesahkan berdirinya badan kewanitaan bernama NOM (N.O. bagian Muslimat) dengan pengurus besar sendiri.
- Mulai tahun 1940, NU merintis badan pertanian dan perekonomian.
- Mengesahkan Departemen Ma’arif (pendidikan) dengan pengurus besar tersendiri dan Anggaran Rumah Tangga tersendiri. Untuk mempersiapkannya, ditunjuk KH. A. Wahid Hasyim sebagai ketua.
Keputusan-keputusan di atas telah disepakati oleh muktamirin. Hanya saja, karena berbagai tuntutan yang berkaitan dengan nasib umat Islam di atas tidak diindahkan oleh pemerintah kolonial beberapa bulan setelah penyelenggaraan muktamar, maka NU secara resmi melayangkan surat protes kepada gubernur jenderal di Batavia, 10 Juli 1940. Sehari setelah surat diterima, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Mahfudz Siddiq dan Zainul Arifin dipanggil ke Batavia untuk menjelaskan tuntutannya kepada penguasa. Trio petinggi NU ini diterima oleh Dr. Pijper, Adviseur voor Inlansche Zaken (Kantor Urusan Pribumi Islam, red.).
Beberapa tuntutan di atas sesuai dengan kategorisasi empat model politik (siyasah) yang diperkenalkan Kiai Wahab dalam muktamar sebelumnya di Menes, Banten, 1938. Dalam muktamar ini, sebagaimana termuat dalam “Verslaag Congres NU XIII di Menes, Bantem, 17 Juni 1938 (hlm. 58)”, Kiai Wahab menjelaskan bahwa NU memiliki empat macam siyasah, yaitu siyasah tijariyah (politik perdagangan), siyasah najjariyah (politik kehutanan/ lingkungan), siyasah falahiyah (politik pertanian), dan siyasah hukmiyah (politik pemerintahan). Meski masih belum sempurna dalam tataran ideal, namun keempat politik inilah yang menjadi pijakan perjuangan NU dalam beberapa dekade setelahnya. Gagasan besar Kiai Wahab mengenai keempat jenis politik itu kemudian diterjemahkan oleh KH. A. Wahid Hasyim menjadi beberapa jenis madrasah yang menjadi pola pembaruan pendidikan di NU, yaitu Madrasah Tijariah (sekolah perniagaan), Madrasah Ziraah (sekolah pertanian), kemudian Madrasah Nijarah (sekolah pertukangan), dan Madrasah Qudlat.
Sayangnya, dalam perkembangannya, hanya kategori pertama yang bisa dilaksanakan, sedangkan kategori kedua belum bisa dilaksanakan karena terbatasnya ahli yang dimiliki oleh kalangan pesantren maupun NU di bidang tersebut. Meski demikian, kategorisasi jenis politik yang dikemukakan Kiai Wahab beberapa dekade silam seharusnya menjadi penanda lahan garapan NU yang harus diseriusi hingga saat ini. Wallahu A’lam Bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar